Kritik adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi. Melalui kritik, warga negara memiliki kesempatan untuk menilai kinerja pemerintah, mengungkap ketidakpuasan, dan menawarkan solusi untuk perbaikan. Saya yakin kita semua paham benar hal ini. Dilain sisi ada fenomena menarik di mana kritik yang disampaikan oleh figur publik justru menimbulkan kegaduhan tanpa menawarkan langkah konkret menuju perubahan yang diinginkan. Dan hal ini, tidak disadari karena berjalan diatas konsep kebebasan berpendapat dan kritik di negara demokrasi.
Peran Kritik dalam Demokrasi Sesungguhnya
Dalam sebuah negara demokrasi, kritik merupakan bagian integral dari proses pengambilan keputusan yang transparan dan akuntabel. Kritik memungkinkan pemerintah untuk memahami aspirasi dan kekhawatiran rakyat, serta menyesuaikan kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kritik yang sehat dan konstruktif dapat mendorong perubahan positif, memperbaiki kelemahan, dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Namun bagaimana jika kritik yang disampaikan tidak bertujuan untuk perubahan yang lebih baik?
Mari kita sebut ini sebagai kritik kosong.
Kritik Kosong dengan Soft Selling-nya
Tidak semua kritik bersifat membangun. Ada kritik yang disampaikan dengan tujuan mencari sensasi atau popularitas, tanpa didukung oleh data dan analisis yang mendalam. Kritik semacam ini seringkali hanya menimbulkan kegaduhan, menyebabkan ketegangan, dan memecah belah masyarakat. Fenomena ini dapat dilihat pada beberapa karakteristik berikut:
- Kritik Kosong: Kritik yang hanya menyoroti masalah tanpa dialog yang diharapkan menghasilkan langkah konkret dapat dianggap tidak konstruktif. Mengidentifikasi masalah adalah langkah penting, dan dialog yang sehat dalam menghasilkan langkah konkret adalah bagian yang krusial untuk mencapai perubahan. Apakah wajib? tidak. Namun dalam proses kritik itu dapat kita lihat apakah ada upaya dialog menuju perubahan yang ingin dicapai atau hanya sekedar memanaskan suasana.
-
Kritik Provokatif dengan pendekatan Soft Selling: Kritik yang disampaikan dengan tujuan menarik perhatian media atau mendapatkan popularitas di media sosial seringkali cenderung provokatif dan tidak berdasar. Kritik semacam ini lebih banyak memicu emosi daripada memberikan kontribusi yang berarti. Kritik yang provokatif tidak selalu menggunakan kata-kata provokasi.
Ini adalah contoh dari kritik provokatif yang menggunakan pendekatan soft selling. Kalimat seperti “terlepas dari jilatan ‘mahakarya’ anda, saya tidak meragukan kepintaran akademis anda” mengandung nada sarkasme dan sindiran halus. Ini adalah contoh dari kritik provokatif yang menggunakan pendekatan soft selling. Meskipun tidak secara langsung menyerang atau menggunakan bahasa kasar.
Kritik Konstruktif & Langkah Konkret
Kritik yang konstruktif seringkali melibatkan diskusi dan dialog. Dengan berdiskusi, berbagai pandangan dapat didengar dan dipertimbangkan, sehingga solusi yang dihasilkan lebih komprehensif dan inklusif serta mengarah kepada langkah-langkah konkret yang dapat diaplikasikan sesuai situasi yang terjadi di masyarakat.
Publik figur bukanlah aktivis yang dapat terjun langsung dalam isu-isu kritik yang mungkin dia sampaikan. Namun dalam proses kritik dan kampanye yang sering dilakukan oleh seorang publik figur, dapat diarahkan kepada dialog yang mengerucut pada langkah-langkah konkret pada isu yang sedang diperhatikan. Pun langkah konkret yang dimaksud tidak selalu mengarah pada isu besar yang terjadi, namun pada isu-isu serupa yang terjadi di daerah atau level yang lebih rendah.